Parate Eksekusi Grose Akta Pengakuan Hutang

1. Pengertian Parate Eksekusi dan grosse akta
Parate eksekusi (parate executie) adalah pelaksanaan dari suatu perikatan dengan langsung tanpa melalui suatu vonnis pengadilan. Dalam Hukum Acara perdata Indonesia parate eksekusi atau eksekusi langsung terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial.
Menurut kamus hukum oleh Drs. Sudarsono, SH., M.Si, parate eksekusi ialah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung yang biasa dilakukan dalam masalah gadai sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian.
Parate eksekusi merupakan eksekusi langsung berdasarkan adanya grosse pada suatu akta pengakuan hutang. Dari sinilah kreditur dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri bila debitur tidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang ditentukan tanpa melalui proses peridangan.
Grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan pertama tersebut diberikan kepada kreditur. Dalam buku Pedoman Tugas (Buku II) yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta otentik yang diberikan kepada kreditur.
Menurut pasal 258 RBg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik.
Asli akta pengakuan hutang (minut) tersebut disimpan oleh Notaris, sedangkan salinan pertama akta tersebut diberi kepala/irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang kreditur. Dan salinan yang diberikan kepada debitur tidak memakai irah-irah seperti yang dipegang oleh kreditur tersebut.
Dalam acara perdata dijelaskan bahwa menurut pasal 258 RBg ada dua macam grose akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik. Dan yang kita bicarakan disini ialah grosse akta pengakuan hutang.
Disamping itu parate eksekusi juga berlaku bagi pemegang gadai (psl. 1155 BW). Jika debitur wanprestasi, maka pemegang gadai berhak menjual benda gadai atas kekuatan sendiri. Hak pemegang gadai untuk menjual barang gadai tanpa title eksekuturial (tanpa perlu perantara) disebut parate eksekusi. Dengan demikian pemegang menjual barang gadai seakan menjual barangnya sendiri, dan berhak mengambil pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Tetapi ketentuan psl. 1155 ini bersifat mengatur (aanvullend recht) dimana para pihak diberi kebebasan untuk memperjanjikan lain, misalnya melalui penjualan dimuka umum atau dibawah tangan. Namun demikian pemegang gadai dilarang memiliki benda gadai (psl. 1154 BW).

2. Spesifikasi Grosse Akta Pengakuan Hutang
Grosse akta pengakuan hutang dapat digunakan khusus untuk kredit Bank berupa Fixed Loan. Notaris dapat membuat akta pengakuan hutang dan melalui grosssenya berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME yang dipegang kreditur (bank) dan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi berdasarkan grosse akta pengakuan hutang mengenai Fixed Loan ini, hanya bisa dilaksanakan, apabila debitur saat peneguran membenarkan jumlah hutangnya itu.
Bentuk grosse akta pengakuan hutang adalah pernyataan sepihak (debitur) sebagai dokumen assesoir dengan perjanjian pokok pinjaman/kredit sebagai pokok hutang (contract of loan). Itu sebabnya, ditinjau dari segi yuridis, ikatan grosse akta (akta pengakuan hutang atau akta hipotik) adalah perjanjian “tambahan” yang bertujuan untuk memperkokoh perlindungan hukum terhadap pihak kreditur.
Ada pula menurut pasal 42 ayat 4 Peraturan Lelang menegaskan, berita acara lelang yang telah diberi bentuk sebagai grosse (memakai kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME” pada bagian kepala berita acara) sama kekuatannya dengan grosse akta hipotik dan grosse akta pengakuan hutang. Dengan demikian, terhadap grosse berita acara lelang berlaku ketentuan pasal 258 RBg. Sekiranya grosse berita acara lelang diberikan sebagai jaminan hutang, maka kreditur dapat meminta “executorial verkoop” ke Pengadilan Negeri, apabila pihak yang menjamin lalai membayar hutang.

3. Syarat sah grosse akta pengakuan hutang
Didalam praktek sering terjadi ketidak-seragaman penerapan tentang sahnya grosse akta pengakuan hutang berdasarkan pasal 258 RBg, disebabkan tidak adanya kesepakatan pendapat mengenai standar hukum.
Berikut ini Yahya Harahap, SH mengemukakan persyaratan yang merupakan Unifiedlegal Frame Work mengenai grosse akta pengakuan hutang.

a. Syarat Formil
1). Berbentuk akta Notaris
 bisa merupakan lanjutan atau peningkatan dari perjanjian hutang semula (dokumen pertama);
 bisa juga perjanjian hutang langsung dituangkan dalam bentuk akta Notaries.
2). Memuat Titel Eksekutorial
 lembar minut (asli) disimpan Notaris;
 grosse (salinan yg memakai irah-irah) diberikan kepada Kreditur.
Harus diingat tidak ada kewajiban hokum memberikan grosse kepada debitur, karenanya tidak diberikan kepada debitur tidak melanggar syarat formal dan tidak mengalangi parate eksekusi.

b. Syarat Materil
1). memuat rumusan Pernyataan Sepihak dari debitur :
 Pengakuan berhutang kepada Kreditur;
 dan mengaku Wajib membayar pada waktu yang ditentukan;
 dengan demikian rumusan akta Tidak Boleh memuat ketentuan perjanjian atau tidak boleh dimasukkan dan dicampurkan dengan perjanjian Hipotek (Kuasa Memasang Hipotek).
2). jumlah hutang Sudah Pasti (fixed load) tidak boleh berupa Kredit Flafon.
 jadi jumlah hutang Pasti dan Tertentu;
 berarti pada saat grosse akta dibuat, jumlah hutang Sudah Direalisir;
 jangkauan hutang yang pasti meliputi Hutang Pokok + Bunga (ganti rugi).

4. Azas Spesialitas Grosse Akta Pengakuan Hutang
Setiap grosse akta pengakuan hutang harus memenuhi azas spesialitas, dalam arti :
a. Harus menegaskan barang agunan hutang;
o tanpa menyebut barang agunan, dianggap tidak memenuhi syarat,
o dengan demikian grosse akta tadi jatuh menjadi ikatan hutang biasa,
o dan pemenuhannya tidak dapat melalui pasal 258 RBg, tapi harus gugat biasa.
b. Dan agunannya harus barang tertentu;
o bisa berupa barang bergerak,
o atau tidak bergerak.
c. Yang dapat dieksekusi berdasar pasal 258 RBg.
o hanya barang agunan saja sesuai dengan azas spesialitas,
o sekiranya Executorial Verkoop atas barang agunan Tidak Cukup memenuhi pelunasan hutang :
- tidak boleh dialihkan terhadap barang lain,
- kekurangan itu harus dituntut melalui Gugat Perdata biasa,
- hal itu sesuai dengan eksistensi grosse akta, bukan putusan pengadilan, tapi disamakan dengan putusan.

5. Parate Eksekusi seperti eksekusi biasa, dengan ketentuan :
 Harus didahului dengan somasi (peneguran);
 Dalam pelaksanaan somasi debitur harus mengakui hutangnya seperti dalam grosse akta pengakuan hutang;
 Eksekusi dilakukan dengan executorial verkoop.

6. Beberapa permasalahan dalam grosse akta
a. Karena kelicikan debitur yang mengulur waktu pelunasan hutangnya;
b. Karena kecurangan yang dilakukan kreditur, seperti tidak memasukkan permbayaran yang dilakukan debitur kedalam rekening pembukuan;
c. Karena kekeliruan pembuatan dokumen grosse akta yang menyebabkan grosse akta pengakuan hutang tidak bernilai yuridis, yang sering terjadi percampur-adukkan grosse akta pengakuan hutang dengan grosse akta hipotik;

Dalam perkembangan bisnis/ekonomi syari’ah permasalah grosse akta bukannya tidak mungkin akan muncul kasus ini yang berhubungan dengan Perbankan syariah dan eksekusinya menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Selain parate eksekusi kemungkinan menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah eksekusi arbitrase, lembaga konsinyasi, perlawanan eksekusi grosse akta, dan lain-lain.
Disamping itu hakim dituntut memahami system kontrak syariah yang sangat menentukan setiap transaksi perbankan.
Juga yang tak kalah pentingnya ialah yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan yang memberikan hak jaminan seperti Gadai (psl 1150 BW), Hipotek Bab II BW Buku II hanya yang berlaku lagi terhadap kapal (UU No. 21/1992) dan pesawat terbabang dan helicopter (UU No. 12/1992), Hak Tanggungan (UU No. 4/1996), Fidusia (UU No. 42/1999) dan ada lagi jaminan perorangan seperti perjanjian penanggungan, perjanjian garansi dan perjajian tangung menanggung (tanggung renteng) yang bukannya tidak mungkin akan bersentuhan dengan bisnis/ekonomi syariah.
Karenanya para hakim di Pengadilan Agama setidak-tidaknya team ekonomi syariah secara rutin sebaiknya mengadakan diskusi mendalami acara masalah-masalah bisnis/ekonomi yang terkait dengan proses pengadilan.
Mudah-mudahan sengketa ekonomi syariah tetap menjadi wewenang Pengadilan dilingkunngan Peradilan Agama, Amin.
Pekanbaru, 25 Maret 2008



[+/-] Selengkapnya...

Penyebab Lamanya Perkara Perceraian

Perkara perceraian memang ada yang penyelesaiannya bertahun-tahun, tetapi ini bukan disebabkan karena buruknya kinerja hakim dalam menangani kasus perceraian, tetapi lebih karena aturan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 Tentang Peradilan Agama.
Dalam Pasal 86 ayat (1) tersebut membuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan harta bersama yang dikumulasikan dengan perkara gugatan perceraian atau menggunakan gugat balik (reconventie), biasanya para pihak memanfaatkan upaya hukum banding atau kasasi bahkan peninjauan kembali adalah yang menyangkut harta bersama, nah dengan demikian masalah perceraian terbawa rendong oleh Pasal yang membolehkannya, sehingga penyelesaian perceraian menjadi lama mengikut upaya hukum yang digunakan oleh pihak yang tidak puas atas pembagian harta bersama tersebut.
Pada prinsipnya pembuat Undang-Undang memang bermaksud untuk memelihara dan menjaga kepentingan wanita dengan adanya Pasal tersebut, karena bila wanita yang mengajukan gugat cerai atau sang suami memohon cerai talak, maka biasanya penguasaan harta bersama yang lebih dominan adalah laki-laki, artinya dalam perceraian wanita yang banyak dirugikan, karena itulah diantisipasi dengan dibukanya kumulasi (penggabungan) gugatan harta bersama dengan gugatan perceraian a./tau gugat balik tersebut.
Memang dengan dibolehkannya kumulasi harta bersama dengan gugatan perceraian selain berlarut-larutnya penyelesaian perceraian tetapi juga menimbulkan banyak permasalahan dalam praktek acaranya (hukum acara) antara lain; Pertama gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 68 ayat (2)/80 ayat (2) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006), sedangkan perkara kebendaan (harta bersama) dengan sidang terbuka (Pasal 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman); Kedua pembuktian saksi dalam gugatan perceraian yang didominasi alasan syiqaq memerlukan kesaksian keluarga atau orang-orang dekat dengan kedua pihak (Pasal 76 atat (1) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006), sementara kesaksian yang demikian untuk pembuktian harta bersama bertentangan dengan Pasal 145 HIR/172 RBg; Ketiga jika dalam proses perkara diputus dengan verstek (Tergugat tidak pernah hadir, dan telah dipanggil dengan cara sah dan patut), lalu diberitahukan bukan kepada pribadi/in person tetapi melalui Lurah/Kepala Desa, maka akibatnya yaitu penghitungan kesempatan untuk mengajukan verzet (perlawanan) atau masa berkekuatan hukum tetap (BHT) berbeda antara perkara perceraian dengan perkara harta bersama, perceraian dianggap terjadi terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 81 ayat (2) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006) yaitu 14 (empat belas) hari sejak diberitahukannya isi putusan kepada pihak yang tidak hadir (Pasal 188 ayat (1) HIR/199 ayat (1) RBg) sementara hukum kebendaan (harta bersama) untuk mengajukan verzet (perlawanan) masih terbuka ketika akan melakukan eksekusi yaitu sampai hari ke-8 (kedelapan) setelah aanmaning/peneguran (Pasal 129 ayat (2) HIR/153 ayat (2) RBg).
Berdasarkan alasan-alasan yang tersebut diatas dan agar hakim tidak dianggap sebagai berkinerja buruk, penulis mengusulkan agar Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006) khusus mengenai harta bersama tidak diberlakukan/dibekukan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung, (bandingkan dengan SEMA Nomor 02 Tahun 1964) dan untuk perlidungan bagi wanita dapat perceraian dilakukan penyitaan (Sita Marital atau Sita Matrimonial) hanya sebagai perlindungan dan penyelamatan terhadap harta bersama tersebut (Pasal 78 huruf (c) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006) sehingga dengan demikian tidak akan terjadi lagi gugatan perceraian yang molor bertahun-tahun.
Kecuali itu, kemungkinan terjadinya pengunaan upaya hukum bading, kasasi ataupun peninjauan kembali dalam perkara gugatan perceraian (tanpa kumulasi dengan harta bersama) adalah bagi seseorang yang beriktikad buruk untuk menunda-nunda perceraian demi menghalangi kepentingan pihak lain, seperti dugaan pihak lain akan menikah lagi dan lain sebagainya. Dalam hal ini pengadilan tidak bisa ikut campur, meski diketahui iktikad buruk seseorang, upaya hukum tetap dapat digunakan.
Pekanbaru, 05 Januari 2008

[+/-] Selengkapnya...

Koreksi Atas Buku Dr. Ahmad Mujahidin, MH

Alhamdulillah bertambah lagi kepustakaan hukum acara “Pembaharuan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia” yang memberi petunjuk praktis bagi hakim dan para praktisi umumnya dalam beracara di Pengadilan Agama, kita patut menghargai karya Bapak Dr. Ahmad Mujahidin, MH yang telah menyusun buku ini semoga mengalir pahala yang tak putus-putusnya selama bermanfaat bagi manusia.

Penulis dalam tulisan ini ingin urung rembuk sedikit menyampaikan koreksi dan barangkali belum tentu juga benar apa yang disampaikan ini, setidak-tidaknya merupakan pijakan bagi hakim dilingkungan peradilan agama untuk mencari kebenaran sesuai dengan tujuan tertib beracara, mengikut azas-azas yang berlaku.

Walaupun penulis belum sempat membaca semua isi buku ini, namun penulis memperhatikan suatu masalah yang kebetulan sedang dibicarakan (discursus) di Pengadilan Agama Pekanbaru wilayah pengawasan penulis, yaitu yang mengenai huruf G. Kehabisan Panjar Biaya Perkara, dalam Bab VII halaman 142-143 buku Pembaharuan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia;

Mengenai mekanisme penambahan panjar biaya perkara dan tindak lanjutnya dari huruf a s/d i kecuali g penulis tidak mempersoalkannya karena masih lingkup atau wilayah administrasi perkara, tetapi pada huruf g berbunyi Berdasarkan surat keterangan panitera tersebut, majelis membuat “penetapan” berisi tentang batalnya perkara itu yang telah terdaftar dalam Register Induk Perkara bersangkutan, menurut penulis huruf g ini sudah termasuk wilayah Tehnis yudisial Hukum Acara, dimana harus ada aturan acaranya bahkan hakim terikat dengan tekstual dan tidak boleh menafsirkan begitu leluasanya aturan acara tersebut apalagi membuat acara baru, kecuali sebatas usulan rancangan.

Ada dua koreksi disini yaitu pertama penetapan majelis, dan kedua membatalkan perkara yaitu penetapan majelis hakim tentang batalnya perkara. Dalam memutuskan perkara apapun itu, hakim semestinya berpegang kepada pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 bahwa disamping alasan dan dasar putusan tersebut, juga memuat pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Menurut sepengetahuan penulis tidak ada aturan yang mengatur bahwa hakim membuat penetapan batalnya perkara dalam hal kehabisan panjar biaya perkara seperti halnya putusan gugur, verstek, atau pencabutan perkara yang sedang berjalan baik dalam HIR, RBg, Rv atau pun dalam BW. Sebagaimana hakim dalam menggali peristiwa untuk menemukan hukumnya, hakim menggunakan syllogisme yaitu suatu pola berpikir (redenering/reasoning) secara deduktif yang sah berpangkal pada dua premis mayor dan minor untuk mendapatkan kesimpulan yang logis dalam mengambil kesimpulan putusan atau penetapan. Disini premis mayor sebagai titik tolak hakim mengambil kesimpulan yaitu merupakan pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, bagaimana dan peraturan apa yang dapat diterapkan pada pembatalan perkara atau pencoretan pendaftaran? Ya tidak ada kecuali hanya dalam Buku Pedoman Kerja yang dikeluarkan IKAHA Wilayah Sulsera di Ujung Pandang tahun 1989 pada halaman 17 berbunyi “Apabila suatu perkara yang telah diajukan pada pengadilan ternyata biayanya telah habis sebelum perkaran itu selesai, maka untuk memeriksa perkara tersebut lebih lanjut dibuatlah teguran kepada penggugat agar dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal teguran tersebut, penggugat harus menambah biaya perkara dan apabila dalam jangka waktu satu bulan tersebut penggugat tidak memenuhinya, maka pendaftaran perkaranya dibatalkan dengan suatu penetapan pengadilan, setelah lebih dahulu panitera kepala membuat suatu keterangan”.

Dalam hal ini penulis berkesimpulan bahwa yang tepat barangkali adalah pembatalan pendaftaran atau pencoretan pendaftaran dengan “penetapan” yang bukan pembatalan perkaranya, dan penetapan tersebut dikeluarkan oleh ketua pengadilan bukan produk penetapan majelis hakim, dengan alas an seperti berikut :

1. Bahwa produk majelis hakim adalah “tehnis yudisial” yang jelas tidak ada cantolannya dalam HIR/RBg, Rv atau BW;

2. Bahwa produk ketua pengadilan adalah bagian dari produk “administrasi perkara” yaitu tentang kauangan/biaya perkara yang tidak tergantung dengan peraturan perundangan;

3. Bahwa perkara tersebut walaupun diserahkan kepada majelis dengan PMH, tetapi penunjukan majelis itu juga bagian dari administrasi perkara atau administrasi persidangan, jadi dengan penetapan tersebut seakan-akan menjelaskan kepada majelis hakim bahwa perkara tidak bisa dilanjutkan karena pendaftaran sudah dicoret atau dibatalkan karena biaya perkara dari pihak tidak ada lagi, dengan begitu perkara dihentikan oleh majelis hakim. Jadi penyelesaian perkara tidak bisa diteruskan karena administasi perkaranya tidak lengkap, sekalipun itu terjadi ditengah jalan.

4. Dengan pencoretan pendaftaran oleh ketua pengadilan tidak menghapus semua dokumen yang ada dalam bundel perkara tersebut dan masih tetap berlaku sepanjang tertera jelas dalam berita acara.

Penulis ingin mengajak kita mau sejenak melihat kebelakang, bahwa pencoretan pendaftaran karena habis biaya perkara adalah petunjuk yang diberikan oleh Bapak Hensyah Syahlani, SH guna mengatasi penumpukkan perkara yang habis biayanya. Masih terngiang-ngiang ditelinga penulis ucapan Bapak Hensyah Syahlani, SH bercerita bahwa untuk mengurangi penumpukan perkara dulu ada SEMA yang mengatur tentang dapat dicoret pendaftaran perkara yang habis biaya perkara/tidak dipenuhi biaya perkara setelah ditegur, akan tetapi SEMA tersebut sudah dicabut, namun kata pak Hensyah aturan SEMA tersebut dapat diperlakukan untuk Pengadilan Agama supaya tidak terjadi penumpukkan perkara yang kekurangan biaya, caranya (1) Pengadilan membuat teguran dalam tenggang waktu tertentu supaya menambah panjar biaya perkara, (2) Panitera membuat surat keterangan tentang hal tersebut jika tidak ditambah panjar biaya oleh pihak Penggugat, (3) Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan penetapan pencoretan pendaftaran perkaranya berdasarkan surat keterangan tersebut. Tetapi sampai saat terakhir bersama pak Hensyah membina Pengadilan Agama, penulis tidak pernah melihat SEMA tersebut.

Dalam hukum acara kita mengenal hal-hal yang kemungkinan terjadi dalam persidangan seperti “gugatan digugurkan” (Pasal 124 HIR, 148 RBg dan 77 Rv), walau kelihatannya pengadilan terlalu kejam kepada Penggugat, tetapi itu aturannya untuk menjaga hak orang lain in casu Tergugat yang hadir memenuhi panggilan, begitu juga tidak hadirnya Tergugat diputus “verstek” (Pasal 125 HIR, 149 RBg) untuk menjaga hak Penggugat dikala Tergugat engkar menghadiri persidangan, demikian juga pencabutan gugatan oleh pihak Penggugat (Pasal 271-272 Rv) diatur dengan tegas, akan tetapi mengenai pembatalan perkara karena kekurangan/habis biaya perkara, tidak diatur dalam Hukum Acara Perdata.

Kecuali itu, dalam Pasal 273 – 277 Rv mengenal aturan yang mengatur tentang pengguguran perkara bukan pencoretan pendaftaran, tetapi tidak dijelaskan dengan tegas sebab-sebab digugurkannya perkara dan dapat dipastikan disini termasuk karena kelalaian pihak apa karena kekurangan biaya perkara ataupun sebab-sebab lainnya. Namun sebelum digugurkan tersebut ada beberapa tahap yang harus dilalui sebagai berikut :

1. Perkara sudah terhenti selama tiga tahun, dan masih ada kesempatan dalam waktu enam bulan untuk melanjutkan perkara;

2. Adanya permohonan untuk digugurkan dari pihak yang berkepentingan, dan permohonan untuk menggugurkan itu dapat dicegah dengan tindakan hukum oleh salah satu pihak sebelum pernyataan gugur;

3. Pernyataan gugur itu dilakukan dalam sidang secara sederhana dan diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan atau ditempat tinggalnya;

4. Pernyataan gugur itu tidak membatalkan tuntutan, melainkan hanya acara perkara yang telah dimulai;

5. Biaya perkara karena pernyataan gugur itu dianggap sudah dibayar;

6. Dan bila mengajukan gugatan baru, maka pihak-pihak satu sama lain berhak untuk mengajukan lagi sumpah-sumpah, pengakuan-pengakuan dan keterangan-keterangan yang telah diberikan olehnya dalam perkara yang terdahulu, begitu juga keterangan-keterangan yang telah diberikan oleh saksi-saksi yang sudah meninggal dunia, jika hal itu dicantumkan dalam berita acara yang dibuat dengan baik.

Ketentuan-ketentuan dalam Rv tersebut jelas acaranya, hakim jelas apa yang diperbuat sebagai tugas tehnis yudisial karena ada cantolannya, hal ini jelas tidak sama dengan pembatalan/pencoretan pendaftaran perkara seperti yang kita bicarakan.

Kalau kita analisa secara mendalam lagi barangkali perkara yang habis biayanya dan penggugat tidak mampu lagi memenuhi biaya perkara akan lebih bijaksana jika tidak di coret pendaftarannya dan solusinya pengadilan menyarankan untuk melanjutkan perkara dengan mengurus proses beracara dengan prodeo, kenapa? Logikanya jika ada yustisiabel sejak awal berperkara tidak mampu membayar biaya perkara bisa berperkara dengan prodeo, maka apa salahnya penggugat yang semula beriktikat baik mau membayar biaya dan ternyata ditengah jalan tidak mampu, dilanjutkan dengan prodeo? Bukankah cara begini adalah bagian client service improvement? Bukankah semua warga mendapat kesempatan yang sama dalam mendapatkan pelayan hukum di pengadilan?, wallahu a’lam.

[+/-] Selengkapnya...


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Ebook Download