Perkara perceraian memang ada yang penyelesaiannya bertahun-tahun, tetapi ini bukan disebabkan karena buruknya kinerja hakim dalam menangani kasus perceraian, tetapi lebih karena aturan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 Tentang Peradilan Agama.
Dalam Pasal 86 ayat (1) tersebut membuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan harta bersama yang dikumulasikan dengan perkara gugatan perceraian atau menggunakan gugat balik (reconventie), biasanya para pihak memanfaatkan upaya hukum banding atau kasasi bahkan peninjauan kembali adalah yang menyangkut harta bersama, nah dengan demikian masalah perceraian terbawa rendong oleh Pasal yang membolehkannya, sehingga penyelesaian perceraian menjadi lama mengikut upaya hukum yang digunakan oleh pihak yang tidak puas atas pembagian harta bersama tersebut.
Pada prinsipnya pembuat Undang-Undang memang bermaksud untuk memelihara dan menjaga kepentingan wanita dengan adanya Pasal tersebut, karena bila wanita yang mengajukan gugat cerai atau sang suami memohon cerai talak, maka biasanya penguasaan harta bersama yang lebih dominan adalah laki-laki, artinya dalam perceraian wanita yang banyak dirugikan, karena itulah diantisipasi dengan dibukanya kumulasi (penggabungan) gugatan harta bersama dengan gugatan perceraian a./tau gugat balik tersebut.
Memang dengan dibolehkannya kumulasi harta bersama dengan gugatan perceraian selain berlarut-larutnya penyelesaian perceraian tetapi juga menimbulkan banyak permasalahan dalam praktek acaranya (hukum acara) antara lain; Pertama gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 68 ayat (2)/80 ayat (2) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006), sedangkan perkara kebendaan (harta bersama) dengan sidang terbuka (Pasal 19 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman); Kedua pembuktian saksi dalam gugatan perceraian yang didominasi alasan syiqaq memerlukan kesaksian keluarga atau orang-orang dekat dengan kedua pihak (Pasal 76 atat (1) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006), sementara kesaksian yang demikian untuk pembuktian harta bersama bertentangan dengan Pasal 145 HIR/172 RBg; Ketiga jika dalam proses perkara diputus dengan verstek (Tergugat tidak pernah hadir, dan telah dipanggil dengan cara sah dan patut), lalu diberitahukan bukan kepada pribadi/in person tetapi melalui Lurah/Kepala Desa, maka akibatnya yaitu penghitungan kesempatan untuk mengajukan verzet (perlawanan) atau masa berkekuatan hukum tetap (BHT) berbeda antara perkara perceraian dengan perkara harta bersama, perceraian dianggap terjadi terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 81 ayat (2) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006) yaitu 14 (empat belas) hari sejak diberitahukannya isi putusan kepada pihak yang tidak hadir (Pasal 188 ayat (1) HIR/199 ayat (1) RBg) sementara hukum kebendaan (harta bersama) untuk mengajukan verzet (perlawanan) masih terbuka ketika akan melakukan eksekusi yaitu sampai hari ke-8 (kedelapan) setelah aanmaning/peneguran (Pasal 129 ayat (2) HIR/153 ayat (2) RBg).
Berdasarkan alasan-alasan yang tersebut diatas dan agar hakim tidak dianggap sebagai berkinerja buruk, penulis mengusulkan agar Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006) khusus mengenai harta bersama tidak diberlakukan/dibekukan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung, (bandingkan dengan SEMA Nomor 02 Tahun 1964) dan untuk perlidungan bagi wanita dapat perceraian dilakukan penyitaan (Sita Marital atau Sita Matrimonial) hanya sebagai perlindungan dan penyelamatan terhadap harta bersama tersebut (Pasal 78 huruf (c) UU No. 7 Thn 1989 sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Thn 2006) sehingga dengan demikian tidak akan terjadi lagi gugatan perceraian yang molor bertahun-tahun.
Kecuali itu, kemungkinan terjadinya pengunaan upaya hukum bading, kasasi ataupun peninjauan kembali dalam perkara gugatan perceraian (tanpa kumulasi dengan harta bersama) adalah bagi seseorang yang beriktikad buruk untuk menunda-nunda perceraian demi menghalangi kepentingan pihak lain, seperti dugaan pihak lain akan menikah lagi dan lain sebagainya. Dalam hal ini pengadilan tidak bisa ikut campur, meski diketahui iktikad buruk seseorang, upaya hukum tetap dapat digunakan.
Pekanbaru, 05 Januari 2008
Penyebab Lamanya Perkara Perceraian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
BalasHapuscuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
yuu buruan segera daftarkan diri kamu
Hanya di dewalotto
Link alternatif : dewa-lotto.name